PENDIDIKAN DAN KUALIFIKASIONISME
Tiga
bulan terakhir Indonesia memiliki fenomena pendidikan yang cukup besar. Dari
SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), SBMPTN (Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi), UMB (Ujian Masuk Bersama) dan banyak lagi
model untuk masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan merupakan menjadi sebuah
fenomena sosial pada jaman modern ini. Tanpa pendidikan individu akan teralineasi pada akses-akses modal
sosial yang sudah didewakan oleh masyarakat.
Secara
umum pendidikan diartikan sebagai setiap sistem budaya atau intruksi
intelektual yang formal atau semiformal. Pendidikan adalah salah satu indikator
modal sosial (social capital) yang
dijadikan masyarakat secara universal untuk memosisikan individu ke dalam
sebuah stratifikasi sosial (social
stratification). Bahkan dalam sebagian masyarakat luas sekarang ini
pendidikan merupakan sebuah tujuan simbolisasi dan memperkuat prestise dan
hak-hak istimewa (privilege) kelompok
elit dalam masyarakat dalam pelapisan sosial.
Enkpansi
pendidikan yang ada sekarang ini, pada hakikatnya tidak berpengaruh terhadap
kesetaraan ekonomi, karena pendidikan tidak bisa menjalar ke segala lapisan
masyarakat. Padahal seharusnya pendidikan menjadi hak setiap warga negara untuk
mendapatkan seperangkat surat kepercayaan (credentials)
yang nantinya akan memberi akses ke posisi-posisi pekerjaan tertentu yang
diinginkan.
Namun
untuk mendapatkan sebuah kepercayaan tersebut masyarakat dihadapkan dengan
sistem kualifikasionisme pendidikan. Perubahan-perubahan historis dalam
persiapan karir menjadi sebuah indikator berubahnya pendidikan menjadi kualifikasionisme.
Namun dilihat dari sudut fungsionalismenya kebanyakan dari apa yang terjadi
dewasa ini dalam sistem pendidikan tidak serta merta mempunyai hubungan dengan
keterampilan kerja yang lebih spesifik. Kondisi tersebut membuat belum
terselesaikannya pengangguran bagi angkatan kerja yang ada.
Banyak
negara yang sedang berkembang mengalami suatu bentuk kualifikasionisme yang
sangat akut. Salah satunya adalah negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Menjadi sebuah persyaratan yang mengharuskan bagi individu-individu untuk
memperoleh jalan masuk pekerjaan harus memiliki sertifikat dan pengalaman
akademik. Proses ini berlangsung dalam segi kehidupan masyarakat.
Kualifikasionisme
bukan hanya terjadi dalam mendapatkan pekerjaan melainkan terjadi juga untuk
pendidikan itu sendiri. Contoh kasus persaingan untuk mendapatkan bangku
sekolah ataupun kuliah, individu akan menghadapi berbagai tes dan harus menguasai
beberapa indikator untuk mendapatkan satu kursi di sekolah atau perguruan
tinggi. Kualifikasionisme dalam pendidikan untuk perguruan tinggi misalnya SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri), UMB (Ujian Masuk Bersama) yang sebentar lagi akan
dilaksanakan, dan masih banyak jalur lain untuk mendapatkan kesempatan masuk ke
perguruan tinggi.
Fenomena
yang terjadi sekarang ini adalah ledakan pendidikan yang semakin meningkat.
Banyak individu yang berbondong-bondong dan memiliki ikatan bersama untuk
mendapatkan satu kursi dalam perguruan tinggi. Konsekuensinya adalah muncunya “overeducation” atau bisa disebut
pendidikan yang berlebihan. Karena, harapan yang muncul adalah setiap orang memiliki pendidikan yang
ekstra untuk menjamin jenis pekerjaan yang diinginkan.
Pendidikan Sebagai
Pembangunan Bangsa
Pendidikan
sejatinya memiliki fungsi yang mulia sebagai sebuah alat sosialisasi individu
yang intensif ke dalam nilai dan aspirasi bangsa. Pendidikan menjadi institusi
yang terdepan dalam menangani permasalahan bangsa. Sistem-sistem yang melembaga
ini diharapkan mampu melahirkan solution
maker dalam perjuangan bangsa ini menangani pembangunan yang terlambat (late-development effect).
Tantangan
yang harus dihadapi individu yang adalah semakin banyak orang memperoleh
kepercayaan pendidikan, surat-surat kepercayaan itu akan berkurang nilainya.
Sehingga lembaga pendidikan harus memiliki tujuan national building. Tidak hanya melirkan individu yang langsung
berhadapan dengan pengangguran dan tidak produktif.
Pendidikan
untuk pembangunan merupakan sebuah tugas semua masyarakat dalam mengisi
kemerdekaan. Dimensi yang harus dibangun dalam lembaga pendidikan adalah
dimensi mental, dimensi emosional, imensi spiritual dan kecerdasan. Bukan hanya
memfokuskan diri terhadap kuantitas saja melainkan yang terpenting adalah
kualitas. Melahirkan individu yang berpikiran growth mindset, yaitu individu yang menyakini apa yang ada dalam
dirinya bisa ditingkatkan dan kecerdasan yang dimiliki diyakini bisa
ditingkatkan. Bukan menciptakan individu yang berpikiran fixed mindset, yaitu individu yang mudah menyerah, yakin bahwa
kecerdasan yang dimiliki sudah ditentukan dan dibatasi, dan tidak ada yang
mengubahnya.
Untuk
memutus siklus permasalahan bangsa yang ini dibutuhkan energi dari lembaga
pendidikan. Sebagai pemegang mutlak dalam peningkatan pembangunan yang ada di
Indonesia. Sehinggga harapan founing
father bangsa ini bukan hanya instuisi belaka, namun masa depan bangsa ini
berada dalam genggaman civitas akademik.
Harapan
dari kualifikasionisme pendidikan adalah bisa memberikan andil dalam perubahan
bangsa. Karena pada dasarnya pendidikan memiliki tujuan membentuk kecapakapan,
menjadikan warga negara yang cerdas, aktif, kritis, namun tetap berkomitmen
dalam menjaga integrasi bangsa dan menciptakan agent of change.
Tags : Jurnal Sosiologi