MAKALAH: HUBUNGAN BUDAYA PATRIARKI TERHADAP SUBORDINASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latarbelakang
Masalah
Pembicaraan
mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai
kemajuan perkembangan kaum perempuan maupun posisi dan status perempuan dalam
kesetaraan dengan kaum pria. Pada satu sisi hubungan gender menjadi suatu
persoalan tersendiri, padahal secara fakta persoalan emansipasi perempuan masih
belum sepenuhnya mendapat respon yang positif dari semua kalangan. Selama ini
yang terjadi adalah kondisi sosial dimana masyarakat masih sangat menonjolkan
peran laki-laki. Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang cukup
menarik di kalangan masyarakat terutama masyarakat yang sudah maju. Ada
berbagai pendapat dan pandangan yang berbeda-beda perihal wacana kesetaraan
gender tersebut. Sebagian ada yang pro dan sebagian lagi ada yang kontra.
Gender
sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial sosial yang berkembang di dalam
masyarakat diinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun temurun.
Dalam perkembangannya, konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender
yang dialami oleh perempuan. Ideologi gender menjadi rancu dan merusak relasi
perempuan dan laki-laki ketika dicampuradukkan dengan pengertian seks (jenis
kelamin). Karena masyarakat tidak dapat dapat membedaan perbedaan seks dan
gender dengan benar, maka muncullah masalah gender yang berwujud pada
ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan. Salah satu ketidakadilan
gender yang dialami perempuan adalah subordinasi yang disebabkan oleh budaya
patriakhi yang masih mengakar kuat pada masyarakat.
Budaya
patrakhi merupakan budaya yang tidak mengakomodasikan kesetaraan dan
keseimbangan sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan.
Budaya patriakhi begitu kuat, menonjol dan dominan seolah begitu adanya dan
tidak terelakkan dalam kehidupan masyarakat. Patriarki merembes ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial. Anggapan
sosial yang menempatkan kaum perempuan emosional, tidak rasional dalam
berpikir, dan tidak dapat tampil sebagai pemimpin telah menempatkan perempuan
pada posisi subordinat. Hal ini berpengaruh pada posisi sosial perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan seperti politik, pendidikan, ekonomi, sosial dan
budaya. Dan aspek yang sangat kentara mengalami subordinasi adalah aspek
politik dan pendidikan. Walaupun kebebasan berpolitik dan kebebasan mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya telah dijamin oleh negara, namun pada
pelaksanaannya masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang disebabkan oleh
pandangan yang sempit dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Kuota 30
persen perempuan dalam parlemen dan program wajib belajar 9 (sembilan) tahun
serta berbagai program lainnya belum mampu menunjukkan kesetaraan gender antara
laki-laki dan perempuan, masih terdapat kebijakan-kebijakan yang bias gender yang disebabkan oleh nilai-nilai dasar
yang dianut dan pandangan tertentu terhadap perempuan. Berangkat dari hal
tersebut, saya tertarik untuk mengkaji pengaruh atau hubungan budaya patriakhi
terhadap subordinasi yang dialami perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
1.2.Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah terbentuknya budaya patriakhi dalam masyarakat ?
2. Apa
yang dimaksud dengan subordinasi ?
3. Bagaimana
hubungan budaya patriakhi dengan subordinasi yang terjadi pada kaum perempuan?
4. Bagaimana
gambaran perempuan Indonesia dalam bidang politik?
5. Bagaimana
gambaran perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan?
6. Bagaimana
gambaran perempuan Indonesia dalam bidang sosial dan budaya?
7. Bagaimana
analisis gender mengenai hubungan budaya patriakhi dengan subordinasi ?
1.3.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui sejarah terbentuknya budaya patriakhi dalam masyarakat.
2. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan subordinasi.
3. Untuk
mengetahui hubungan budaya patriakhi dengan subordinasi yang terjadi pada kaum
perempuan.
4. Untuk
mengetahui gambaran perempuan Indonesia dalam bidang politik.
5. Untuk
mengetahui gambaran perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan.
6. Untuk
mengetahui gambaran perempuan Indonesia dalam bidang sosial dan budaya.
7. Untuk
mengetahui analisis gender mengenai hubungan budaya patriakhi dengan
subordinasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Asal Usul Budaya Patriakhi
Budaya
patriarki muncul pada zaman peralihan yaitu peralihan zaman paleolitikum dan
zaman logam yang dimulai dari adanya aktivitas bercocok tanaman holtikultura
yang dilakukan oleh perempuan, kemudian domestifikasi binatang buruan menjadi
ternak hingga ditemukannya baja/logam dan api yang dibuat menjadi bajak
sehingga dapat mengelolah tanah lebih luas. Pembajakan ini dilakukan oleh
laki-laki karena perempuan tidak bisa lagi mengkombinasikan pekerjaan
memelihara anak dengan produksi pertanian dan hal lain yang melatarbelakangi
kenapa perempuan tidak membajak karena proses evolusi tubuh perempuan yang berubah
pada zaman holtikultura. Pembajakan mendapatkan hasil yang banyak sehingga terjadi
akumulasi modal dan menyebabkan surplus, jelas yang mendapatkan surplus adalah
laki-laki sehinga muncul kepemilikan pribadi. Surplus inilah yang memulai
adanya budaya patriarki dimana perempuan mulai didomestifikasi dan hanya
difungsikan sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan generasi yang nantinya
generasi dijadikan sebagai tenaga kerja. Perempuan menjadi penting sebagai alat
perdagangan karena memiliki rahim untuk memproduksi anak, karena perempuan
menjadi alat perdagangan maka munculah mekanisme pasar yaitu sistem jual beli
perempuan disebut Mahar atau mas kawin. Hal diatas lah yang melatarbelakangi
muncul patriarki di masyarkat. Sistem ini lah yang diadopsi dan turun temurun
hingga sekarang dikalangan masyarakat di bumi ini.
Pada mulanya “patriarki” mempunyai arti yang sempit, menunjuk kepada
sistem yang secara historis berasal dari
hukum Yunani dan Romawi, dimana kepala rumah tangga laki-laki memiliki
kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga laki-laki
memiliki kekuasaan hukum dan perempuan
yang menjadi tanggungannya berikut budak laki-laki maupun perempuannya. Yang
mutakhir istilah patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak
didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua
lingkup kemasyarakatan lainnya. Pandangan ini berpengaruh penting penting
ketika kita membicarakan mengapa peran gender tradisional sukar berubah. Ini
merupakan ciri pokok masyarakat yang terorganisir sepanjang garis patriarkal di
mana ada ketidakikutsertaan hubungan gender antara laki-laki dan perempuan.
Menolak ketidakadilan gender merupakan sesuatu yang sangat mengancam karena
berarti menolak seluruh struktur sosial.
Patriarki merembes ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial, dan
kini kita akan menelaah sebagian aspek
dan sistem ini serta melihat bagaimana strukturnya yang memberi hak- hak
istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan perempuan, menjunjung tinggi
perbedaan gender.
Secara umum budaya patriarki
didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki atau dominasi
laki-laki terhadap perempuan. Pada sistem ini laki-laki yang memiliki kekuasaan
untuk menentukan, kondisi ini dianggap wajar karena dikaitkan dengan pembagian
kerja berdasarkan seks. Keberadaan budaya ini telah memberikan keistimewaan
pada jenis kelamin laki-laki. Patriarki adalah suatu sistem dimana
adanya relasi yang timpang antara yang mendominasi dan yang didominasi, dimana
yang mendominasi mengontrol yang didominasi. Biasanya ini berkenaan terhadap
ekspresi gender dimana yang mendominasi adalah kaum-kaum maskulin (superior)
sedangkan yang didominasi adalah kaum-kaum feminim (inferior).
2.2.
Pengertian Subordinasi
Subordinasi
merupakan istilah atau konsep yang mengacu kepada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibandingkan
peran dan posisi laki-laki. Subordinasi perempuan berawal dari pembagian kerja
berdasarkan gender dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu.
Kemampuan perempuan ini digunakan sebagai alasan untuk membatasi perannya hanya
pada peran domestik dan pemeliharaan anak, jenis pekerjaan yang tidak
mendatangkan penghasilan yang secara berangsur menggiring
perempuan sebagai tenaga kerja yang tidak produktif dan tidak menyumbang kepada
proses pembangunan.
Anggapan sosial yang menempatkan kaum perempuan
emosional, tidak rasional dalam berpikir, dan tidak dapat tampil sebagai
pemimpin telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Peran perempuan pada posisi subordinat artinya
posisi perempuan sebagai pelengkap terhadap posisi laki-laki sebagai pemegang
posisi ordinat. Posisi subordinat perempuan dapat dilihat pada :
Ø Pengambilan keputusan dalam keluarga
dimana laki-laki (suami) sebagai pengambil keputusan.
Ø Dalam tatanan sosial budaya
masyarakat ada kecenderungan lebih mengutamakan laki-laki (prinsip patriakhi).
Ø Pada wilayah hukum dan politik subordinasi
perempuan terjadi pada akses dan partisipasi hukum dan politik. Banyak
peraturan yang bersifat diskriminatif gender.
2.3. Hubungan Budaya Patriakhi dengan
Subordinasi
Budaya patriarkhi dalam beberapa aspek kehidupan cenderung
lebih mengunggulkan laki laki dan merendahkan wanita. Di sebagian besar
masyarakat yang menganut garis keturunan ayah (patriarkhi), beranggapan bahwa
laki laki mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Oleh
karena itu, kedudukan serta perlakuan terhadap wanita berkonotasi
diskriminatif. Anggapan sosial yang menempatkan kaum
perempuan emosional, tidak rasional dalam berpikir, dan tidak dapat tampil
sebagai pemimpin telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Kenyataan demikian ini
terjadi melalui proses yang sangat panjang baik lewat sosialisasi, penguatan,
konstruksi sosial, kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara. Oleh
karena melalui proses yang panjang itulah, maka lama kelamaan perbedaan gender
antara laki laki dan perempuan menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat
yang tidak dapat diubah lagi.
Proses konstruksi sosial
tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan fisik,
psikis dan biologis masing masing jenis kelamin. Konstruksi gender tentang
wanita yang digambarkan mempunyai sifat keibuan, lemah lembut, emosional,
penakut, sabar, telaten, rajin, kemudian pada akhirnya wanita terbentuk
kepribadian yang cenderung sebagaimana dikostruksikan.
Wanita yang secara fisik dipandang lebih lemah, karenanya
harus mendapat perlindungan, itulah sebabnya mereka ini tidak cocok untuk
menjadi kepala rumah tangga dan akibatnya harus menyelesaikan pekerjaan di
dalam rumah tangga atau disektor domestik yang resikonya jauh lebih kecil.
Pekerjaan perempuan disektor domestik ini sering dipandang rendah dan tidak
produktif. Konstruksi sosial demikian ini terus dipelihara sebagai suatu
kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Sebagai suatu kebiasaan yang telah
diterima sebagai kebenaran bahwa wanita diberi strereotip sosok lemah
dibandingkan dengan laki laki. Itulah sebabnya sejak wanita itu masih
kanak-kanak terus mendapatkan sosialisasi untuk menyelesaikan pekerjaan yang
halus dan terlindung di dalam rumah tangga, seperti memasak,mengasuh anak,
membersihkan rumah, mencuci pakaian dan alat rumah tangga..
2.4.
Gambaran Perempuan Indonesia dalam Bidang Politik
Membicarakan peran politik perempuan, kita harus
melihat politik bukanlah dari kerangka formal di bidang legislatif, eksekutif
maupun yudikatif. Eksistensi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama
pada tingkat lokal dan kepekaan terhadap masalah yang ada. Perempun harus sadar
bahwa ketika mereka tidak peduli terhadap politik mereka telah menggantungkan
hidup mereka pada keputusan negara yang sangat bias gender karena mayoritas
keputusan diputuskan oleh laki-laki. Siapa lagi yang
mempunyai urgensi menyuarakan kepentingan-kepentingan perempuan selain
perempuan itu sendiri? Inilah mengapa keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif
sangatlah penting.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam sensus tahun 2010,
persentase penduduk perempuan sebesar 49, 66 persen dari total penduduk di
seluruh Indonesia. Beda tipis dengan penduduk laki-laki yang persentasenya
50,34 persen, dengan Seks Rasio adalah 101. Berarti
terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Lalu mengapa
keterwakilan perempuan di parlemen masih sangat sedikit? Pada pemilu tahun
2009, meski kebijakan kuota 30 persen di parlemen sudah dicanangkan, nyatanya
hanya 9 persen perempuan yang duduk di legislatif.
Tahun 2014, keberpihakan kepada perempuan pada pemilu memang semakin
terbuka lebar. UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah
menunjukkan adanya tindakan afirmatif (affirmative action), contohnya dalam
aturan penyusunan DCT (Daftar Calon Tetap), penentuan nomor urut calon
legislatif dan perhitungan perolehan suara, hal ini disebabkan oleh :
Ø
Pertama, dalam aturan
penyusunan DCT, harus ada minimal 30%
keterwakilan perempuan dari setiap partai politik (parpol).
Ø
Kedua, dalam aturan penentuan
nomor urut calon legislatif, nama calon perempuan dalam Daftar Calon Tetap
diletakkan secara berurutan, yakni misalnya nomor urut 1, 2 dan 3. Tidak hanya
ditempatkan pada nomor urut 3 sampai 6 atau seterusnya. Jadi dalam setiap 3
bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1 dan/atau 2,
dan/atau 3 dan demikian seterusnya. Dengan demikian caleg perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, 2 dan 3. Selama ini tak
jarang perempuan hanya mendapat nomor urut buncit dalam pemilu legislatif.
Ø
Ketiga, dalam aturan
perhitungan perolehan suara untuk penetapan jumlah kursi, saat caleg laki-laki
dan perempuan dalam satu daerah pemilihan memperoleh jumlah suara yang sama,
maka dimenangkan caleg perempuan. Itu tidak hanya berlaku bagi caleg dalam satu
partai politik (parpol) tetapi juga lintas parpol.
Meski dalam tataran regulasi keberpihakan pada perempuan semakin
terlihat, bukan berarti kita sebagai perempuan bisa bernafas lega. Persoalannya
kemudian, apakah nama-nama caleg perempuan dalam Daftar Calon Tetap itu adalah
sosok-sosok mumpuni dan memang berdedikasi dalam menyuarakan aspirasi
perempuan? Memiliki wakil perempuan di parlemen memang semakin membuka peluang
agar aspirasi kita disuarakan. Namun kita, sebagai perempuan, tetap perlu
mengawasi bagaimana proses penyuaraan aspirasi itu berjalan.
Tabel 1
PEROLEHAN SUARA NASIONAL PEMILIHAN LEGISLATIF (DPR RI, DPD RI, DPRD PROVINSI, DPRD KAB/KOTA) TAHUN 2014
PEROLEHAN SUARA NASIONAL PEMILIHAN LEGISLATIF (DPR RI, DPD RI, DPRD PROVINSI, DPRD KAB/KOTA) TAHUN 2014
No
|
DPR RI
|
||
Jenis Kelamin
|
Jumlah Kursi
|
Persentase (%)
|
|
1
|
Laki-laki
|
483
|
86,3
|
2
|
Perempuan
|
97
|
17,3
|
Jumlah
|
560
|
100
|
No
|
DPD RI
|
||
Jenis Kelamin
|
Jumlah Kursi
|
Persentase (%)
|
|
1
|
Laki-laki
|
98
|
74,2
|
2
|
Perempuan
|
34
|
25,8
|
Jumlah
|
132
|
100
|
No
|
DPRD Provinsi
(33 Provinsi)
|
||
Jenis Kelamin
|
Jumlah Kursi
|
Persentase (%)
|
|
1
|
Laki-laki
|
1.779
|
84.15
|
2
|
Perempuan
|
335
|
15.85
|
Jumlah
|
2.114
|
100
|
No
|
DPRD
Kabupaten/Kota (403 Kabupaten/Kota)
|
||
Jenis Kelamin
|
Jumlah Kursi
|
Persentase (%)
|
|
1
|
Laki-laki
|
12.360
|
85.8
|
2
|
Perempuan
|
2.406
|
14.2
|
Jumlah
|
14.410
|
100
|
Tabel 2
Jumlah
Perempuan di DPR Hasil Pemilu 1999-2014
Pemilu
|
Total
Anggota DPR
|
Jumlah
Perempuan
|
%
|
1999
|
500
|
45
|
9,00
|
2004
|
550
|
61
|
11,09
|
2009
|
560
|
101
|
17,86
|
2014
|
560
|
97
|
17,32
|
Sumber: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Tabel 3
Empat orang
caleg dengan suara terbanyak
No
|
Nama
|
Keterangan
|
Partai
|
Dapil
|
Jumlah Suara
|
1
|
KarolinMargret Natasa
|
Perempuan
|
PIDP
|
KalBar
|
397.481
|
2
|
Puan Maharani
|
Perempuan
|
PDIP
|
JaTengV
|
369.927
|
3
|
I Wayan Koster
|
Laki-laki
|
PDIP
|
Bali
|
260.342
|
4
|
Rieke Diah Pitaloka
|
Perempuan
|
PDIP
|
JaBar VII
|
260.342
|
STATISTIK
ANGGOTA DPR HASIL PEMILU LEGISLATIF 2009-2014
PERBANDINGAN
PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI
Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK
STATISTIK
ANGGOTA DPD 2009-2014
HASIL
PEMILU LEGISLATIF
Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK
Tabel
4
Jumlah
Perbandingan Caleg Perempuan dan Laki-laki di Sumatera
Provinsi
|
Caleg DPRD
|
Perempuan
|
Laki-Laki
|
PresentasePr
|
NAD
|
275
|
89
|
186
|
32(%)
|
Sumut
|
642
|
213
|
429
|
33(%)
|
Sumbar
|
276
|
99
|
177
|
36(%)
|
Riau
|
228
|
74
|
154
|
32(%)
|
Jambi
|
137
|
49
|
88
|
36(%)
|
Sumsel
|
340
|
123
|
217
|
36(%)
|
Bengkulu
|
102
|
39
|
63
|
38(%)
|
Lampung
|
331
|
118
|
213
|
36(%)
|
Bangka
Belitung
|
78
|
29
|
49
|
37(%)
|
Kepulauan
Riau
|
85
|
27
|
58
|
32(%)
|
Total
|
2494
|
860
|
1634
|
34(%)
|
Sumber: Media Center KPU (1 April 2009)
2.5.
Gambaran Perempuan Indonesia dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan adalah hak setiap orang, baik laki-laki
maupun perempuan. Dengan demikian, semestinya tidak ada alasan untuk
mendiskriminasikan ataupun menelantarkan pendidikan kaum perempuan. Ini berarti
perempuan bisa belajar bidang apa saja. Memang secara umum sebagaian besar
orang tua di Indonesia saat ini sudah mulai menyadari akan pentingnya sekolah
bagi putra-putrinya namun ada sebagian yang masih memiliki pandangan yang timpang
terhadap pendidikan anak perempuannya.
Jika di telusuri ketimpangan pendidikan perempuan di
Indonesia ini dikarenakan oleh beberapa hal antara lain: masyarakat masih
berpandangan maleoriented atau lebih mengutamakan pendidikan anak
laki-laki dari pada anak perempuannya. Male oriented juga berkaitan dengan
budaya yang telah mengakar kuat dengan anggapan bahwa perempuan tidak sepantasnya
berpendidikan tinggi karena nantinya hanya akan ke dapur. Persepsi ini tidak
diluruskan dan tidak disadari bahwa sesungguhnya peran di dapur pun menuntut ilmu
dan pengetahuan.
Budaya bahwa
perempuan adalah konco wingking, sehingga tidak perlu menempuh
pendidikan yang lebih tinggi, dan faktor kemiskinan atau keterbatasan penghasilan
orang tua kadang-kadang juga dapat memarginalkan pendidikan perempuan. Harus
diakui faktor biaya pendidikan saat ini yang dirasa masih mahal merupakan kendala
utama bagi anak anak kurang mampu untuk terus menempuh pendidikan. Selain faktor-faktor
di atas, adanya trend bahwa perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi kemudian
tidak mengembangkan karirnya dan lebih memilih kembali ke ruang domestik atau
memilih menjadi ibu rumah tangga, banyak menimbulkan persepsi bahwa memang
tugas perempuan itu mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai
pilihan yang disadari secara penuh.
Pada zaman yang modern ini boleh saja perempuan
memilih menjadi pengurus rumah tangga (ibu rumah tangga) secara total tetapi
hendaknya menjadi ibu rumah tangga yang berwawasan luas, handal dan berdaya.
Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan pendidikan, pelatihan, terus belajar
untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Banyak faktor yang menyebabkab para perempuan Indonesia
tidak memiliki keterampilan, antara lain adalah: sedikitnya kesempatan memperoleh
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan setempat, faktor kemiskinan, tidak
adanya semangat dan kemauanuntuk memperoleh kesempatan dan fasilitas berlatih
keterampilan dengan baik, meskipun otaknya mungkin cemerlang. Tingkat pendidikan
dan pengetahuan serta ketrampilan yang rendah bagi perempuan menyebabkan mereka
menjadi sumberdaya manusia yang kurang mampu bersaing di dunia kerja. Agar
memiliki kemampuan bersaing, salah satunya adalah menjadi manusia yang berkualitas
tinggi. Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi ini dapat dihasilkan salah
satunya melalui jalur pendidikan dan pelatihan dengan sistem pemagangan.
Untuk memastikan terpenuhinya hak perempuan dan
laki-laki akan pendidikan maka perlu segera meningkatkan akses dan perluasan kesempatan
belajar bagi anakanak perempuan dan laki-laki usia sekolah terutama di daerah
miskin, terpencil, dan terisolasi. Membuka sekolah kejuruan yang relevan dengan
kebutuhan pemberdayaan perempuan dan masyarakat setempat, responsif dan antisipatif
serta dapat membantu pencapaian tujuan sosial yang dapat menjamin akses dan
ekuitas peserta didik, berikutnya memperbaiki mutu pendidikan dan meningkatkan
kesempatan bagi perempuan untuk menjamin bahwa perempuan memperoleh pengetahuan
dan keterampilan, sehingga diharapkan dapat terwujud kesetaraan dan keadilan
gender. Pendidikan adalah salah satu jalan menjadikan perempuan sebagai agen perubahan,
bukan sekedar penerima pasif program-program pemberdayaan. Pendidikan juga
dapat menjadi salah satu faktor yang memungkinkan perempuan memiliki
independensi (kemandirian) ekonomi dengan bekerja baik di luar maupun di dalam
rumah tinggalnya.
2.6.
Gambaran Perempuan Indonesia dalam Bidang Sosial dan Budaya
Perdebatan
mengenai posisi kaum perempuan dan laki-laki merupakan perdebatan yang tak ada habis-habisnya.
Anggapan sosial yang menempatkan kaum perempuan emosional, tidak rasional dalam
berpikir, dan tidak dapat tampil sebagai pemimpin telah menempatkan perempuan
pada posisi subordinat.
Kenyataan demikian ini terjadi melalui proses yang sangat panjang baik lewat
sosialisasi, penguatan, konstruksi sosial, kultural, keagamaan bahkan melalui
kekuasaan negara. Oleh karena melalui proses yang panjang itulah, maka lama
kelamaan perbedaan gender antara laki laki dan perempuan menjadi seolah-olah
ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak dapat diubah lagi.
Proses konstruksi sosial
tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan fisik,
psikis, sosial dan budaya. Subordinasi merembes
ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial. Dalam bidang sosial dan
budaya subordinasi juga memberi hak- hak istimewa kepada laki-laki dengan
mengorbankan hak-hak perempuan, menjunjung tinggi perbedaan gender. Hal ini
dapat kita lihat dalam kasus contoh berikut :
a. Sumatera Utara
: Pada masyarakat Batak, laki-laki lebih dihargai daripada perempuan. Istri
yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki menyebabkan laki-laki (suami) boleh
mengawini perempuan lain untuk mendapatkan anak laki-laki. Perempuan bekerja
keras, laki-laki berkumpul di lapo tuak sambil main catur atau kartu. Dalam
suatu pesta adat Batak, kepala babi diberikan kepada laki-laki sebagai
manifestasi falsafah Batak “Hasangapon,
Hamoran, Hagabeon”. Hubungan darah yang berdasarkan marga menunjukkan
hubungan yang paternalistik. Dalam hal pembagian harta warisan, pihak laki-laki
lebih diutamakan dan mendapat porsi yang lebih banyak, bahkan bisa jadi
perempuan tidak mendapat apa-apa kalau harta warisan orangtua jumlahnya
sedikit. Masyarakat Batak juga menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah
tinggi karena nanti bila sudah menikah akan menjadi milik marga (keluarga)
lain. Sedangkan laki-laki akan membawa nama besar keluarga dan marga apabila
berhasil mencapai pendidikan tinggi dan jabatan yang tinggi (siboan goar).
b. Lampung :
Dalam masyarakat Lampung (Kecamatan Padang Ratu), laki-laki mendapatkan
kesempatan pendidikan yang lebih tinggi, mempunyai hak untuk menceraikan istri.
Keputusan tentang kehidupan (pengolahan tanah, penentuan jenis tanaman, dll)
ditentukan oleh laki-laki.
c. Toraja :
perempuan tidak bebas memilih jodoh. Perempuan dituntut untuk memelihara nama
baik keluarga dan adat.
2.7.
Analisis Gender : Pengaruh Budaya Patriakhi terhadap Subordinasi
Untuk
menganalisis pengaruh budaya patrikahi terhadap subordinasi digunakan teknik
analisis Longwe. Teknik analisis Longwe adalah suatu teknik analisis yang
dikembangkan sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria
analisis yang meliputi : kesejahteraan, akses, kesadaran, kritis, partisipasi,
dan kontrol. Lima dimensi sama lain berhubungan secara sinergis, saling
menguatkan dan kelima dimensi tersebut juga merupaka tingkatan yang bergerak
memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan otomatis makin tinggi
tingkat keberdayaan.
a.
Dimensi
Kesejahteraan
Dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan
material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan,
penghasilan, perumahan, dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan
laki-laki. Dengan demikian kesenjangan gender di tingkat kesejahteraan
perempuan dasarnya. Level ini merupakan tingkatan nihil dari pemberdayaan
perempuan. Padahal upaya untuk memperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan
keterlibatan perempuan dalam proses empowerment dan pada tingkat pemerataan
yang lebih tinggi.
b.
Dimensi Akses
Kesenjangan gender disini dilihat dari adanya
perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya. Lebih
rendahnya akses mereka terhadap sumber daya menyebabkan produktivitas perempuan
cenderung lebih rendah dari laki-laki. Pembangunan
perempuan tidak cukup hanya pada pemerataan akses karena kurangnya akses
perempuan buak saja merupakan isu gender tetapi juga akibat dari diskriminasi
gender. Oleh karena itu akar penyebab kesenjagan akses atas sumber daya
adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran.
c.
Dimensi
Kesadaran Kritis
Kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan
adanya anggapan bahwa posisi sosial ekonomi perempuan yang lebih rendah dari
laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan
abadi. Pemberdayaan di tingkat ini
berarti menumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas:
bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil
diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan
gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender
dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan
konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan.
d.
Dimensi
Partisipasi
Partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa
pemerataan partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu
partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi.
Disini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam
penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan monitoring, serta
evaluasi. Hasil analisis partisipasi
ditunjukkan dalam tabel profil partisipasi. Ketidaksetaraan peranan laki-laki
dan perempuan dapat dilihat dari hasil tersebut. Kesenjangan partisipasi
perempuan mudah diidentifikasi, misalnya dari partisipasi di lembaga legislatif,
eksekutif, organisasi politik dan massa. Namun partisipasi secara umum
dapat dilihat dari adanya peran serta stara anatara laki-laki dan perempuan
dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat,
maupun Negara.
e.
Dimensi Kuasa/Kontrol
Kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari
adanya hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa
terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi.
Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya
kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, satu tidak mendominasi atau
berada dalam posisi dominan atas lainnya. Artinya perempuan mempunyai kekuasaan
sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan
komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya
kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera.
Hasil
Analisis :
- Dimensi Kesejahteraan : kesejahteraan
perempuan belum mencapai hasil yang memuaskan, hal ini dibuktikan dengan
ketimpangan tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Masih
banyak kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan laki-laki
lebih utama daripada pendidikan perempuan, hal ini berpengaruh pada
kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan, penghasilan, dan lain-lain karena
pendidikan yang rendah.
- Dimensi Akses : perempuan telah memiliki
akses yang sama dalam bidang pendidikan tetapi dalam bidang politik dan
sosial budaya perempuan masih mengalami ketidakdilan atau ketimpangan.
- Dimensi Kesadaran Kritis : perempuan belum
sepenuhnya menerapkan kesadaran kritis, hal itu dibuktikan dengan masih
rendahnya partisipasi perempuan dalam mengkritisi nilai-nilai dan norma
yang dianut dalam masyarakat terutama budaya patriakhi.
- Dimensi Partisipasi : tingkat partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan belum menunjukkan hasil yang
memuaskan walaupun dalam parlemen kuota perempuan cukup signifikan.
- Dimensi Kuasa/Kontrol : kesetaraan dalam
kuasa/kontrol masih timpang, hal ini dibuktikan dengan persentasi
perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan (lembaga legislatif)
masih timpang.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Gender
sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial sosial yang berkembang di dalam
masyarakat diinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun temurun.
Dalam perkembangannya, konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender
yang dialami oleh perempuan. Ideologi gender menjadi rancu dan merusak relasi
perempuan dan laki-laki ketika dicampuradukkan dengan pengertian seks (jenis
kelamin). Karena masyarakat tidak dapat dapat membedaan perbedaan seks dan
gender denan benar, maka muncullah masalah gender yang berwujud pada
ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan. Salah satu ketidakadilan
gender yang dialami perempuan adalah subordinasi yang disebabkan oleh budaya
patriakhi yang masih mengakar kuat pada masyarakat.
Secara umum budaya patriarki didefinisikan sebagai suatu sistem yang
bercirikan laki-laki atau dominasi laki-laki terhadap perempuan. Pada sistem
ini laki-laki yang memiliki kekuasaan untuk menentukan, kondisi ini dianggap
wajar karena dikaitkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks.
Patriarki merembes ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial, dan
subordinasi memberi hak- hak istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan
perempuan, menjunjung tinggi perbedaan gender. Wanita yang secara fisik dipandang lebih lemah, karenanya
harus mendapat perlindungan, itulah sebabnya mereka ini tidak cocok untuk
menjadi kepala rumah tangga dan akibatnya harus menyelesaikan pekerjaan di
dalam rumah tangga atau disektor domestik yang resikonya jauh lebih kecil.
Perempuan mengalami subrodinasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik,
pendidikan, sosial dan budaya, serta berbagai aspek lainnya.
3.2. Saran
a. Memperkuat kelembagaan dan jalur pendidikan,
sebagai upaya pemberdayaan perempuan untuk memberikan kemampuan dalam pengambilan
keputusan serta meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan dalam
berbagai bidang, termasuk bidang politik yang selama ini dianggap bukan dunia
perempuan.
b. Program pemberdayaan perempuan harus segera
dilakukan dengan serentak, berkesinambungan, dan melibatkan semua elemen
masyarakat. Upaya pemberdayaan perempuan juga harus dilakukan secara nyata,
tidak hanya bersifat slogan dan berhenti pada tingkat wacana.
c. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam
kepemimpinan, untuk meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterlibatan dalam
setiap program pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun melakukan
monitoring dan evaluasi kegiatan.
d. Menyusun mekanisme pemberdayaan perempuan
secara terpadu dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh komponen
masyarakat, baik aparat pemerintahan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga
pendidikan, swasta, dan LSM dan lain-lain.
e. Peningkatan fungsi dan peran organisasi
perempuan, dalam pemasaran sosial program-program pemberdayaan masyarakat. Hal
ini penting mengingat selama ini program pembangunan yang ada, kurang
disosialisasikan dan kurang melibatkan peran masyarakat.
f. Pelibatan kelompok perempuan dalam
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring semua program pembangunan yang ada.
Keterlibatan perempuan meliputi program pembangunan fisik, penguatan ekonomi,
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
g. Kesadaran akan perlunya pelibatan perempuan
dalam pembangunan serta perlunya perencanaan pembangunan yang peka gender harus
ditumbuhkan dalam masyarakat, khususnya di kalangan birokrat dan anggota dewan.
h. Meningkatkan akses dan kontrol terhadap
sumber dan manfaat dengan menerapkan kerangka pemberdayaan mulai dari tingkat
kesejahteraan hingga tingkat kontrol/kekuasaan.
i. Meningkatkan peran dan fungsi organisasi
perempuan di tingkat lokal sebagai wadah pemberdayaan kaum perempuan agar dapat
terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilaya tempat tinggalnya.
j. Membentuk jaringan kerja (kaukus) antara
lembaga yang mempunyai kepedulian dan bidang garapan yang berkaitan dengan
perempuan dengan tidak mengabaikan keragaman sosial-budaya, jenis pekerjaan,
lingkungan dan sebagainya.
k. Memasukkan berbagai pandangan internasional
tentang hak-hak perempuan
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Harmona. 2007. Perempuan dalam Kemelut Gender. Medan :
USU Press.
Ichromi,T.O.
1995, Kajian Wanita dan Pembangunan.
Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.
Mansour Fakih, 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Pustaka Pelajar : Yogjakarta.
Murniati, Nunuk. P. A.
2004. Getar Gender : Perempuan Indonesia
dalam Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga, Magelang : Indonesiatera.
Setiadi, Elly M. Dan
Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi,
Jakarta : Kencana.
http://www.wydii.org/index.php/library/data/representation-of-women/130-daftar-pejabat-publik-perempuan-di-indonesia.html
http://femaline.co/keterwakilan-perempuan-dalam-legislatif-pekerjaan-yang-tak-pernah-sele/
http://www.kaskus.co.id/thread/508df40f0a75b48a2d000002/wow13-srikandi-pemimpin-daerah-di-indonesiacantik-cantik-gan-serba-13
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/03/200818/Ironi-Wanita-Pekerja-
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/10/data-perempuan-indonesia-ngeri-ngeri-sedap-ternyata-558795.html
http://www.academia.edu/4813062/Pendidikan_Perempuan_Kepala_Keluarga
http://harianjoglosemar.com/berita/persepsi-gender-salah-timbulan-ketidakadilan-gender-14142.html
www.kpu.go.id
www.bps.go.id
www.dpr.go.id
http://www.koalisiperempuan.or.id/subordinasi/
http://femaline.co/keterwakilan-perempuan-dalam-legislatif-pekerjaan-yang-tak-pernah-sele/
http://www.kaskus.co.id/thread/508df40f0a75b48a2d000002/wow13-srikandi-pemimpin-daerah-di-indonesiacantik-cantik-gan-serba-13
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/03/200818/Ironi-Wanita-Pekerja-
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/10/data-perempuan-indonesia-ngeri-ngeri-sedap-ternyata-558795.html
http://www.academia.edu/4813062/Pendidikan_Perempuan_Kepala_Keluarga
http://harianjoglosemar.com/berita/persepsi-gender-salah-timbulan-ketidakadilan-gender-14142.html
www.kpu.go.id
www.bps.go.id
www.dpr.go.id
http://www.koalisiperempuan.or.id/subordinasi/
LAMPIRAN
Daftar
Menteri Perempuan Kabinet Kerja Masa Bakti 2014-2019
No
|
Nama
|
Jabatan
|
1
|
Retno
Marsudi
|
Menteri Luar Negeri
|
2
|
Susi
Pudjiastuti
|
Menteri Kelautan dan
Perikanan
|
3
|
Nila
Moeloek
|
Menteri Kesehatan
|
4
|
Siti Nurbaya Bakar
|
Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
|
5
|
Puan
Maharani
|
Menko
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
|
6
|
Yohana
Yembise
|
Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
|
Daftar
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Perempuan di Indonesia
No
|
Nama
|
Jabatan
|
1
|
Ratu Atut Chosiyah
|
Gubernur
Banten
|
2
|
Rustriningsih
|
Wakil Gubernur Jawa Tengah
|
3
|
Tri
Risma Harini
|
Walikota Surabaya
|
4
|
Airin Rachmi Diany
|
Walikota
Tangerang Selatan
|
5
|
Atty Suharti Tochija
|
Walikota Cimahi
|
6
|
Anna Sophanah
|
Bupati Indramayu
|
7
|
Neneng Hasanah Yasin
|
Bupati Bekasi
|
8
|
Rina
Iriani
|
Bupati Karanganyar
|
9
|
Sri Suryawidati
|
Bupati Bantul
|
10
|
Ni Putu Eka Wiryastuti
|
Bupati Tabanan
|
11
|
Juliarti
|
Bupati Sambas
|
12
|
Indah Putri Indriani
|
Wakil Bupati Luwu
Utara
|
13
|
Rustriningsih
|
Bupati Kebumen
|
14
|
Widya Kandi Susanti
|
Bupati Kendal
|
15
|
Christian Euginia
Paruntu
|
Bupati Minahasa
Selatan
|
16
|
Idza
Priyanti
|
Bupati
Brebes
|
17
|
Rita
Widyasari
|
Walikota Kutai
Kartanegara
|
18
|
Cellica Nurrachadiana
|
Wakil Bupati Karawang
|
19
|
Suryatati A Manan
|
Walikota
Tanjungpinang
|
Berikut nama perempuan anggota DPR periode 2014-2019.
No
|
Nama
|
Partai
|
No
|
Nama
|
Partai
|
1
|
Meutya
Hafid
|
Golkar
|
50
|
Elva
Hartati
|
PDI-P
|
2
|
Enny
Aggraeny Anwar
|
Golkar
|
51
|
Rita
Zahara
|
Gerindra
|
3
|
A. Fauziah P. Hatta
|
Golkar
|
52
|
Sri
Melyana
|
Gerindra
|
4
|
Agatie
Sulie Mahyudin
|
Golkar
|
53
|
Susy
Marleny Bachsin
|
Gerindra
|
5
|
Neni
Moernaeni
|
Golkar
|
54
|
Dwita
Ria Gunadi
|
Gerindra
|
6
|
Eni
Maulani S
|
Golkar
|
55
|
Rachel
M. Sayidina
|
Gerindra
|
7
|
Siti
Hediati Suharto
|
Golkar
|
56
|
Putih
Sari
|
Gerindra
|
8
|
Endang
S.Handayani
|
Golkar
|
57
|
Sri
Wulan
|
Gerindra
|
9
|
Endang
Maria Astuti
|
Golkar
|
58
|
Rahayu
S.D.
|
Gerindra
|
10
|
Wenny
Haryanto
|
Golkar
|
59
|
Novita
Wijayanti
|
Gerindra
|
11
|
Dewi
Asmara
|
Golkar
|
60
|
Katherine
A Oendoen
|
Gerindra
|
12
|
Popong
Otje Djundjunan
|
Golkar
|
61
|
Ruskati
Ali Baal
|
Gerindra
|
13
|
Dwi
Aroem Hadiatie
|
Golkar
|
62
|
Peggi
Patrisia Pattipi
|
PKB
|
14
|
Saniatul
Lativa
|
Golkar
|
63
|
Rohani
|
PKB
|
15
|
Delia
Pratiwi Sitepu
|
Golkar
|
64
|
Siti
Masrifah
|
PKB
|
16
|
Betti
Shadiq Pasidigoe
|
Golkar
|
65
|
Ida
Fauziyah
|
PKB
|
17
|
Rooslynda
Marpaung
|
Demokrat
|
66
|
Anna
Mu’awannah
|
PKB
|
18
|
Dwi
Astuti Wulandari
|
Demokrat
|
67
|
Nihayatul
Wafiroh
|
PKB
|
19
|
Melani
Leimena Suharli
|
Demokrat
|
68
|
Latifah
Shohib
|
PKB
|
20
|
Linda
Megawati
|
Demokrat
|
69
|
Siti
Mukaromah
|
PKB
|
21
|
Siti
Mufattanah
|
Demokrat
|
70
|
Neng
E.M. Zulfa
Hiz
|
PKB
|
22
|
Evi
Zainal Abidin
|
Demokrat
|
71
|
Chusnunia
Chalim
|
PKB
|
23
|
Nurhayati
Ali Asegaf
|
Demokrat
|
72
|
Elviana
|
PPP
|
24
|
Vena
Melinda
|
Demokrat
|
73
|
Okky
Asokawati
|
PPP
|
25
|
Vivi
Sumantri Jayabaya
|
Demokrat
|
74
|
Leni
Marlinawati
|
PPP
|
26
|
Erma
Suryani Ranik
|
Demokrat
|
75
|
Wardatul
Asriah
|
PPP
|
27
|
Norbaiti
Isran Noor
|
Demokrat
|
76
|
Nurhayati
|
PPP
|
28
|
Verna
G. M. Inkirawang
|
Demokrat
|
77
|
Irna
Narulita
|
PPP
|
29
|
Aliyah
Mustika Ilham
|
Demokrat
|
78
|
Kartika
Yudhisti
|
PPP
|
30
|
Mercy
Chriesty Barends
|
PDI-P
|
89
|
Kasriyah
|
PPP
|
31
|
Irine
Yusiana Roba Putri
|
PDI-P
|
80
|
Ermalena
|
PPP
|
32
|
Vanda
Sarundajang
|
PDI-P
|
81
|
Fatmawati
Rusdi
|
PPP
|
33
|
Karolin
Margret Natasa
|
PDI-P
|
82
|
Asnawati
Hasan
|
PAN
|
34
|
Sadarestuwati
|
PDI-P
|
83
|
Yasti
S. Mokoagow
|
PAN
|
35
|
Damayanti
W. Putranti
|
PDI-P
|
84
|
Indira
CT Syahrul
|
PAN
|
36
|
My
Esty Wijayati
|
PDI-P
|
85
|
Ammy A.F. Surya
|
PAN
|
37
|
Indah
Kurnia
|
PDI-P
|
86
|
Yayuk
Basuki
|
PAN
|
38
|
Puan
Maharani
|
PDI-P
|
87
|
Laila
Istiana
|
PAN
|
39
|
Agustina
W. Pramestuti
|
PDI-P
|
88
|
Desy
Ratnasari
|
PAN
|
40
|
Evita
Nusranty
|
PDI-P
|
89
|
Dewi
Coryati
|
PAN
|
41
|
Puti
Guntur Soekarno
|
PDI-P
|
90
|
Hanna
Gayatri
|
PAN
|
42
|
Risa
Mariska
|
PDI-P
|
91
|
Irma
Suryani
|
Nasdem
|
43
|
Rieke
Diah Pitaloka
|
PDI-P
|
92
|
Amelia
Anggraini
|
Nasdem
|
44
|
Ribka
Tjiptaning
|
PDI-P
|
93
|
Yayuk
Sri. R
|
Nasdem
|
45
|
Diah
Pitaloka
|
PDI-P
|
94
|
Tri Murny
|
Nasdem
|
46
|
Dwi
Ria Latifa
|
PDI-P
|
95
|
Dewi
Yasin Limpo
|
Hanura
|
47
|
Wiryanti
Sukamdani
|
PDI-P
|
96
|
Miryam
S Haryani
|
Hanura
|
48
|
Itet
T.
Sumarijanto
|
PDI-P
|
97
|
Ledia
Hanifa Amaliah
|
PKS
|
49
|
Isma
Yatun
|
PDI-P
|
Tags : Jurnal Sosiologi