MASALAH AGRARIA DAN POSISI PETANI
Tanah atau sumber daya agraria lainnya dalam suatu
masyarakat agraris tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga
memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh
karena itu, masalah tanah tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antara
manusia dan tanah, lebih dari itu, secara normatif (juga kepentingan analisis)
merupakan hubungan antarmanusia. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme
masing-masing dalam mengatur hubungan antarmanusia. Implikasi dari masalah
hubungan tersebut adalah orang mempunyai hak untuk menolak orang
lain menggunakan tanahnya, tanpa seizin pemiliknya. Oleh karena itu
pula hukum positif atau perundang-undangan formal mengatur hubungan
antarmanusia dalam hal pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah untuk menghindari terjadinya konflik dalam
masyarakat.
Tanah,
dalam sistem sosial-ekonomi-politik apa pun, dianggap sebagai faktor produksi
utama. Hal yang membedakan antara sistem yang satu dan sistem lainnya hanyalah
bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan, dan cara pandang terhadap tanah itu
sendiri. Dalam sistem feodal, fungsi tanah lebih merupakan simbol status
kekuasaan para bangsawan Tanah secara keseluruhan dimiliki kelas bangsawan,
sementara petani hanyalah pihak penggarap. Dalam sistem kapitalisme, tahan dan
faktor produksi lainnya merupakan mesin pencetak laba, merupakan sesuatu yang
dapat mengakumulasi modal. Dalam sistem ini tanah dikuasai oleh pemilik modal,
sementara petani hanya pekerja. Dalam sistem sosialisme, tanah tidak dimiliki
secara pribadi, tetapi secara kolektif. Tanah merupakan alat produksi dan
hasilnya digunakan secara bersama. Begitu pula dalam pendekatan (neo)
populisme, tanah dianggap sebagai alat produksi yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat petani. Dalam pandangan ini, tanah tidak dimiliki atau
dikuasai bangsawan, negara (kolektif), atau kelas tuan tanah, tetapi dikuasi
secara tersebar oleh sejumlah besar rumah tangga pertanian. Dalam sistem-sistem
tersebut, tanah mempunyai nilai strategis, walaupun memiliki fungsi
berbeda-beda.
Gambaran
diatas menekankan pada pemilikan maupun penguasaan tanah merupakan
faktor penting dalam setiap masyarakat, apa pun model sistem
sosial-ekonomi-politik yang dianut didalamnya. Pentingnya penguasaan tanah bagi
suatu masyarakat juga dapat dilihat dari slogan-slogan atau prinsip-prinsip
yang hidup dan tumbuh didalamnya. Di Indonesia dikenal istilah tanah
tumpah darah, yang berarti tanah atau wilayah yang harus dipertahankan
dalam upaya mempertahankan eksistensi bangsa. Hampir setia daerah di Indonesia
mengenal simbol-simbol ungkapan yang menyangkut masalah tanah. Di Jawa dikenal
istilah sedumuk batuk senyari bumi, artinya sekecil apapun
tanah yang dikuasai, keberadaannya sudah menyatu dengan petani sehingga harus
dipertahankan. Dalam budaya Sunda dikenal slogan berjuang keur lemah
cai, artinya berjuang untuk tanah air, kita harus mempertahankan tanah
air. Demikian pila dalam budaya Batak dikenal istilah tanah, ulos
nasura buruk yang berarti tanah adalah ulos yang tak pernah rusak.
Pentingnya
penguasaan tanah bagi seseorang atau sekelompok masyarakat dengan sendirinya
akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari
setiap intervensi pihak luar. Hal ini pada gilirannya selalu menimbulkan
konflik, baik konflik terbuka maupun tersembunyi. Konflik tanah tidak hanya
terjai diantara pihak-pihak yang kehidupannya berkaitan dengan tanah atau
terjadi pada satu komunitas tertentu, baik seringkali melebar bahakan maupun
menembus batas-batas administratif suatu negara. Konflik perbatasan dua negara,
perbutan suatu kawasan tertentu, dan kolonisasi merupakan suatu bentuk konflik
perebutan sumberdaya agraria atau tanah. Perebutan suatu wilayah kerajaan oleh
kerajaan lain dalam konteks historis merupakan salah satu bentuk konflik
perebutan sumberdaya agraria. Demikian pula dalam konteks pembangunan
kontemporer, konflik perebutan ruang menjadi semakin menonjol sejalan dengan
pola-pola hubungan sosial-ekonomi-politik yang berkembang.
Dalam
berbagai konflik yang muncul, petani, yang kehidupannya sangat tergantung
sepenuhnya pada sumber daya kehidupan sangat tergantung sepenuhnya pada
sumberdaya tanah, selalu berada pada posisi yang lemah. Dalam perjalanan
sejarah agraria di Indonesia, dan dibanyak negara berkembang lainnya, petani
cenderung menjadi pihak yang dirugikan dalam konteks kekuaaan politik yang
berlaku pada suatu waktu tertentu. Pada zaman feodal, misalnya, petani bukanlah
pemilik tanah. Mereka lebih merupakan hamba yang hanya mengerjakan tanah milik
para bangsawan dengan berbagai persyaratan dan kewajiban yang mengikat dan
terkadang memberatkan. Pada zaman kolonial, petani pun menjadi objek pemerasan
pihak pemerintah kolonial maupun pemilik modal asing. Mereka karena
diwajibkan bekerja untuk kepentingan pihak penjajah.
Kondisi
yang sama terjadi juga pada periode pascakemerdekaan. Pada awala kemerdekaan,
ideologi pemikiran pada pendiri bangsa sangat memperhatikan kelas petani. Hal
ini terbukti dengan adanya upaya menerapkan kebijakan penataan struktur
penguasaan tanah melalui program land reform. Akan tetapi,
kekuatan aktor politik lain yang menghalangi kebijakan tersebut menyebabkan
keinginan kuat untuk mengangkat harkat dan derajat petani menjadi sirna. Para
petani tetap berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Hal
yang sama terjadi pula pada periode Orde Baru. Kondisi petani hampir tidak
mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Pada periode ini memang ada
upaya besar untuk meningkatkan kehidupan petani melalui program
besar yaitu revolusi hijau, tetapi program ini hanya memusatkan perhatian pada
hasil produksi secara keseluruhan (national aggregate) tanpa
melihat distribusi hasil yang diperoleh. Demikian pula semakin maraknya eksploitasi
sumberdaya alam, seperti hutan dan tambang, dalam periode ini telah menyebabkan
perebutan sumberdaya antara petani yang berupaya mempertahankan hak atas tanah
dan aktor lain yang mendapatkan dukungan negara. Fenomena konflik agraria pada
periode ini dapat dipahami terjadi karena adanya aktifitas negara yang disebut
pembangunan. Akibatnya, konflik agraria yang muncul berwujud struktural.
Dasar
pemilikan konflik struktural ini berkaitan erat dengan pola hubungan kekusaaan
yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi kekuasaan negara yang semakin kuat,
sementara kekuatan politik masyarakat semakin lemah, pola koflik struktural
akan semakin menonjol. Konflik struktural antara petani melawan pemilik modal
dan negara merupakan gambaran umum dari semua bagian yang akan dibahas dalam
tulisan ini. Kajian struktural ini mungkin dapat memahami reaksi-reaksi dan
gerakan-gerakan petani yang akan mengantarkan pembaca kepada pemahaman mengenai
keaaan sosial,ekonomi dan politis.
Perubahan
sifat permasalahan tanah yang berkembang pada masa sekarang menarik untuk
dikaji, terutama yang berkenan dengan hal-hal yang mendasari perubahan sifat
permasalahan tanah. Pada masa sekarang, kompleksitas persoalan tanah berkaitan
erat dengan permasalahan yang melibatkan bidang-bidang lain. Dapat dikatakan
bahwa persoalan tanah pada masa sekarang tidak lagi terbatas pada persoalan
lokal desa dan bersifat internal, tetapi sudah sangat kompleks. Permasalahan
tanah telah berubah dari persoalan lokalitas desa, yang berkisar pada
ketidakadilan dalam sistem bagi hasil (maro) antar pemilik tanah
dan penyakap serta pesoalan pemilikan tanah yang berlebihan, menjadi persoalan
eksternal politis yang lebih luas. Sistem kelembagaan desa dan
hubungan-hubungan tradisional “patrom klien” yang berkembang di pedesaan-yang
terbukti mampu meredam konflik-konflik agraria yang potensi bermunculan di
kelas pertanian- sekarang nyaris tak berfungsi karena proses intervensi
komersialisasi pertanian yang merasuk dan menggerogoti mekanisme tradisionaini.
Ketika permasalahan tanah dilembagakan untuk kepentingan-kepentingan politik
tertentu, persoalan tanah berkembang menjadi sagat kompleks.
Fenomena
konflik agraria yang terjadi di Indonesia saat ini berkaitan dengan pendapat
Scott (1989), yaitu munculya kekuasaan negara serta semakin merasuknya
kapitalisme dan komersialisasi merupakan ancaman terhadap pola substensi
petani. Pada gilirannya, hal ini akan menimbulkan perlawanan kaum tani.
Dominasi negara dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, munculnya
kapitalisme yang semakin merasuk kedalam kehidupan masyarakat masih sangat
lemah, akan menyebabkan kian besarnya konflik kepentingan untuk menguasai
sumberdaya agraria.
Tulisan
ini berupaya menganalisis konflik agraria pedesaan yang terjadi di Indonesia
pada tiga periode, yaitu masa prakemerdekaan (meliputi masa kolonial dan
prakolonial), masa pascakemerdekaan (sejak kemerdekaan hingga peralihan ke Orde
Baru), dan masa Orde Baru dengan tekanan pada konflik-konflik yang melibatkan
petani dan pihak-pihak lain. Walaupun demikian, bobot pembahasan lebih terfokus
pada masa Orde Baru, dengan pertimbangan ketersediaan informasi yang dapat
dikumpulkan. Dalam setiap periode akan dikemukakan kondisi dan kebijakan
agraria, bentuk konflik yang muncul, level konflik, pihak-pihak yang terlibat
konflik, dan penyelesaian konflik. Dalam bahasan kondisi dan kebijakan agraria
dikemukakan bagaimana pola-pola hubungan agraris dan
kebijakan-kebijakan yang muncul pada periode itu mempengaruhi pola-pola
hubungan tadi. Bentuk konflik yang dimaksud adalah manifestasi atau perwujudan
konflik yang muncul, misalnya berupa perlawanan fisik. Level konflik yaitu
tingkatan konflik: apakh bersifat lokal, terbatas dan tidak memiliki kaitan
dengan kasus lain, atau berupa isu besar yang bersifat nasional bahkan tidak
hanya menyangkut masalah tanah semata. Pihak-pihak yang berkonflik adalah
pihak-pihak yang terlibat atau terkait didalam konflik. Penyelesaian konflik
yang dimaksud adalah jalan keluar yang diambil, baik oleh pihak yang berkonflik
maupun pihak lain dan pihak-pihak yang berwenang menyelesaiakan konflik.
Studi
ini merupakan studi data sekunder dengan sumber data dari buku-buku yang
barkaitan dengan petani dan konflik agraria, laporan hasil penelitian, dan
kliping koran. Untuk periode prakemerdekaan dan pascakemerdekaan, informasi
yang digunakan lebih banyak bersumber dari buku-buku dan laporan hasil
penelitian. Sementara itu, untuk periode pemerintah Orde Baru, gambaran konflik
diperoleh dari kumpulan kliping koran.
Tags : Jurnal Sosiologi