Belajar dari Konflik Masa Lalu untuk Kerukunan Masa Kini
Tiap
coretan dalam tulisan ini adalah kondisi yang terhubung oleh garis-garis kehidupan
manusia yang dinamis, sejumlah hal yang tak dapat diukur, hanya dapat dilihat
dan dirasakan. Peristiwa ini terjadi di tempat yang jauh dan dekat, ada di pusat
atau di periferi, ada di daerah pegunungan dan bahkan tepi lautan. Banyak benda
mati yang menjadi saksi. Karena justru benda inilah menjadi saksi untuk tetap
mengatakan bahwa “kerukunan” itu masih ada.
Sebelum
menulis ini, saya teringat kepada beberapa kasus konflik besar di Indonesia. Potret
retak nusantara ini bisa dilihat dari beberapa konflik yang tidak hanya merusak
lingkungan sekitar, harta benda tapi juga menghancurkan sudut-sudut
kemanusiaan. Konflik ini biasanya terjadi adanya perbedaan karakteristik manusia
sebagai makhluk hidup. Perbedaan itu adalah status sosial yang sudah melekat
sejak lahir. Sebut saja namanya si SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Potret
retak nusantara ini dapat dikenang melalui sejumlah kasus konflik di Indonesia.
Dimulai dari konstruksi konflik Aceh, konflik separatis di Papua, konflik di Maluku,
dan konflik antar suku di Kalimantan. Sejumlah besar konflik ini diawali dari perbedaan
diferensiasi sosial, terkhusus suku, agam, dan yang tak bisa dipisahkan dari politik.
Ini akan menjadi cerita pahit bangsa Indonesia. Ribuan orang sudah menjadi
korban dari konflik ini. Cerita perdamaian dari setiap kejadian ini sangat
panjang.
Belajar
dari Konflik Masa Lalu
Sewaktu
penulis masih belajar Sosiologi di Universitas Sumatera Utara, tema besar
tentang si SARA ini dipelajari dalam mata kuliah Hubungan Antar Kelompok (HAK).
Penulis juga tidak terlalu menguasai matakuliah ini, hanya dapat nilai B saja. Hal yang paling saya ingat dalam matakuliah
ini adalah bagaimana Hubungan Antar Kelompok diwakilkan dengan kata-kata yang cukup
sering kita dengar. Kata-kata itu adalah; plural, majemuk, beragam, heterogen,
dan lain sebagainya. Dari kata-kata ini kemudian bisa diturunkan ke dalam
beberapa perbedaan secara diferensiasi. Yaitu, suku, agama, ras, dan
antargolongan. Kemajemukan ini merupakan ciri khas negara Indonesia.
Dari kemajemukan ini kemudian muncullah integrasi. Pengertian integrasi adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan, sosial, ras , etnik, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan norma. Sudah saatnya untuk menyesuaikan diri terhadap unsur-unsur perbedaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Memilih untuk menciptakan kondisi kerukunan. Kerukunan seperti apa? Silahkan memilih dari 13 konsep kerukunan ini; integration, equibilirium, stability, the absence of conflict, tolerance, solidarity, comformity, peace, cohesion, compromise, harmony, solidity, dan sinergy.
Integrasi memiliki konsep-konsep, bila integrasi gagal maka boleh dikatakan
eksistensi masyarakat Indonesia akan hilang. Apalagi masyarakat Indonesia yang majemuk
ini yang rawan terhadap disintegrasi. Secara populer orang mengatakan bahwa
dalam masyarakat kita yang majemuk ini membutuhkan “kerukunan.”
Kerukunan merupakan suatu kata yang sejuk, romantis dan didambakan, tetapi
bila kita melihatnya dalam kerangka konsep Sosiologis, ternyata kerukunan
bukanlah suatu konsep yang sederhana. Kondisi kerukunan seperti apakah yang
kita maksudkan? Berikut adalah defenisi beberapa konsep yang bernuansa kerukunan,
yaitu:
- Integration: keutuhan atau persatuan (proses menjadi satu). Kondisi ini memang bisa menghasilkan kerukunan, tetapi konsep ini lebih sering menekankan pada “keutuhannya” daripada “kerukunannya.” Karena itu harus dibedakan antara integrasi nasional (bersatunya pulau-pulau nusantara ke dalam satu negara bangsa Indonesia) dengan integrasi (adanya interaksi yang intensif dan kolaboratif antar warga masyarakat dari berbagai golongan yang berbedaan). Pengertian pertama lebih menekankan pada motivasi politis (kekuasaan) dan sering menjurus pada cara yang koersif, yang kedua lebih bersifat sosiologis yang adanya kesepakatan nilai dan fungsional yang setara. Jadi, secara sosiologis kita perlu mengusahakan integrasi yang baik. Dalam kondisi itulah integrasi nasional (secara politis) bisa diperjuangkan dan dipertahankan. Bila pemerintah terlalu sibuk mencari “integrasi nasional” tetapi kondisi integrasi antar golongan terabaikan, kondisi ini tidak akan sehat dan tidak bisa bertahan lama.
- Equibilirium: keadaan yang seimbang dan tidak terjadi kesenjangan yang menimbulkan gejolak. Tetapi konsep ini juga bisa bernuansa pasif. Artinya masyarakat seolah-olah tidak dinamis, anggota masyarakat tidak aktif bahkan tidak saling membantu. Kondisi equibilirium bisa juga berarti juga stalemate, yaitu keadaan ketika semua kelompok tidak saling menyerang. Hal ini bukan karena mereka rukun melainkan sama-sama kuat sehingga tidak ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
- Stability: keadaan yang tenang, mantap dan mapan hampir tidak ada konflik yang mengguncang. Tetapi ini belum tentu menandakan adanya kepuasan semua pihak belum tentu ada kerukunan, bahkan mungkin laten conflict atau anomosity (rasa tidak senang antarkelompok). Stability sering bernuansa negatif, dalam arti tidak dinamis mempertahankan status-quo. Dalam suatu masyarakat yang stabil biasanya ada kelompok penguasa yang amat kuat dan memaksakan stabilitas tersebut, seperti Indonesia pada Orde Baru.
- The absence of conflict: keadaan nyaris tanpa konflik, tetapi ini biasanya terjadi karena ada kekuatan yang dapat menekan kelompok-kelompok agar tidak berkonflik. Keadaan ini sering bersifat semu dan realistik karena konflik merupakan gejala yang melekat pada semua masyarakat. Konflik bahkan memiliki fungsi penting untuk mengoreksi kondisi yang ada. Kondisi tanpa konflik ini bisa berbahaya karena masyarakat tidak memiliki lembaga penyalur ketidakpuasan. Keadaan ini sering berakhir dengan konflik yang eksplosif.
- Tolerance: sikap menahan diri, bisa menerima keadaan, tidak menyerang kelompok lain. Hal ini memang bisa menghasilkan kerukunan, tetapi sangat bersifat dangkal dan “minimalis”. Bila yang dipentingkan adalah kemampuan semua pihak menahan diri, maka rasa tidak senang antar budaya (cultural animosity) atau konflik yang tersembunyi (hidden conflict) dan rasa segan untuk bekerja sama bisa saja masih tetap saja. Kerukunan terjadi tidak akan berkembang menjadi lebih kuat.
- Solidarity (kesetiakawanan): kondisi yang lebih positif daripada toleransi. Hal ini menunjukkan adanya sikap atau mau menolong dan bersatu, ada kerukunan, tetapi masih ditandai oleh kesenjangan (ketidaksetaraan) dan eksploitasi secara tersembunyi masih bisa terjadi. Contohnya, pada masa Orde Baru tatkala sering terjadi kesenjangan yang mencolok antar golongan, lalu pemerintah mencanangkan “Hari Kesetiakawanan Nasional.” Dengan mengerahkan golongan yang kuat untuk memberi santunan kepada yang lemah, tetapi struktur yang tidak adil masih tetap saja dipertahankan. Motivasi politisnya adalah untuk mencegah konflik .
- Conformity: kepatuhan warga negara sehingga dapat menimbulkan suasana rukun. Tetapi kondisi ini bernuansa pasif, tidak aktif, tidak kritis, bahkan bisa berbahaya bila semua orang mematuhi segala keputusan penguasa tanpa syarat. Konformitas yang terlalu kuat pada nilai dan norma yang ada bisa menghambat inovasi.
- Peace: kondisi tidak berkelahi atau berperang, bisa bernuansa rukun tetapi juga bernuansa pasif (tidak saling menyerang, tetapi mungkin tidak saling menyayangi atau kerja sama). Suatu kedamaian masih harus diisi lagi dengan tindakan yang lebih proaktif. Orang sering mengaitkan kedamaian dengan keadilan, orang tidak akan mau berdamai bila belum mendapat keadilan, kecuali dipaksa. Bagi masyarakat kelas atas yang telah menikmati segala-galanya perdamaian adalah kondisi yang paling didambakan, tetapi bagi golongan miskin dan tertindas yang masih harus memperjuangkan kehidupannya terutama melawan ketidakadilan, kata perdamaian sama dengan menerima keadaan.
- Cohesion: kondisi kesatuan yang sangat kuat ada kerja sama atau kekompakan, tetapi ada nuansa fanatik kelompok. Misalnya, Jepang pada masa Perang Dunia II. Dalam masyarakat modern yang kompleks dan heterogen, konsep ini tampaknya kurang realistik bila bersifat terlalu eksklusif.
- Compromise: keadaan saling memberi konsensi (mengalah) untuk menghindari terjadinya konflik. Pada prinsipnya pendekatan ini tidak bersifat progresif (maju) tetapi lebih bersifat mundur selangkah. (1=1/2 + ½) dengan kata lain setiap kelompok rela memperoleh setengah. Keadaan ini bisa berbahaya jika yang dikorbankan adalah hal-hal yang merupakan prinsip (cita-cita) dasar.
- Harmony: hampir mirip dengan equibilirium, seimbang, kondisi yang memperlihatkan adanya perbedaan tetapi memiliki nuansa serasi, atau kecocokan dan saling mengisi. Ini dapat dikatakan sebagai kondisi ideal.
- Solidity : konsep ini jarang dipakai, sebenarnya ini menunjukkan kualitas kekenyalan atau kerukunan yang memiliki daya tahan dan daya tangkal serta tidak mudah digoyang atau diprovokasi pihak luar.
- Sinergy: bila kompromi adalah masing-masing pihak yang mengorbankan apa yang ada demi mencapai kesepakatan, maka sinergi adalah bersepakat serta bersatu dalam perbedaan. Dalam konsep sinergi, semua pihak yang berlawan menggabungkan kekuatan masing-masing untuk menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda (1+1 yang bukan hanya menjadi 2 tetapi bisa menjadi 3, 4, bahkan lebih). Sinergi tidak bersifat “menang-kalah” atau zero sum game (bila satu pihak untung, pihak lain pasti rugi) tetapi lebih bersifat win-win solution. Ini memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Yang penting adalah kreativitas untuk mengubah pertentangan menjadi kerja sama yang produktif. Konsep ini cukup ideal, tetapi untuk diterapkan bagi masyarakat Indonesia masih memerlukan suatu perubahan paradigma berpikir.
Tiga belas konsep kerukunan di atas sekaligus bisa menjadi pilihan demi terwujudnya
kerukunan. Konsep tersebut memberikan ciri yang berbeda dalam menjelaskan kerukunan,
secara ringkas dapat dirangkum untuk kerukunan suatu keadaan tidak adanya konflik
yang terjadi. Oleh karena itu, menjadi pelaku kerukunan lebih baik daripada
pelaku konflik.
Tags : Jurnal Sosiologi