Apa itu Teori Postmodern?
Pada permulaan ini perlu sekali memahami betul
teori sosial postmodern yang dikemukakan oleh Pauline Rosenau (1992). Dia
mendefenisikan teori tersebut secara gamblang dalam istilah yang berlawanan. Ada
lima pemahaman mendasar dalam memahami teori postmodern.
Sumber foto: Kompasiana |
Terutama sekali dan sangat nyata,
postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern kegagagalannya dalam memenuhi
janji-janjinya. Karena peristiwa yang mengerikan pada abad dua puluh,
posmodernis menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas
telah membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang.
Karenanya postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan
dengan modernitas.
“akumulasi pengalaman peradabatan Barat adalah insdustrialisasi,
urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam ‘jalur cepat’.
Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern, seperti akrier, jabatan,
tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanism,
egalitarianism, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral,
peraturan impersonal dan rasionalitas. (Rosenau, 1992:5-6).
Kedua, teoritis postmodern cenderung menolak apa
yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi,
totalitas dan sebagainya. Seperti Baudrillad (1990/1993:72) sebagai contoh yang
memahami: “gerakan atau impulse yang besar dengan kekuatan positif dan efektif
dan atraktif mereka (modernitas) telah sirna.” Postmodernis biasanya mengisi
kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama
sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah
antara perkataan posmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang
akan kita lihat, setidaknya beberapa posmodernis menciptakan narasi besar
sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan
akibatnya mereka selalu berusahan mengambil jarak dan narasi besar yang
menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung
menggembor-gemborkan fenomena besar premodern seperti “emosi, perasaan,
instuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan,
metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan
pengalaman mistik (Rosenau, 1992:6). Seperti yang terlihat dalam hal ini Jean
Baudrillard benar, terutama pemikirannya tentang “pertukaran simbolis (symbolic
exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan
modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin
akademik, “budaya dan kehidupan, fisksi dan teori, images dan realitas”
(Rosenau, 1992:6). Maka kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung
mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain
mungkin melakukan hal yangs sama sebagai contoh, kita melihat Baudrillard
menguraikan teori sosialnya dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan
sebagainya.
Kelima, banyak potmodern menolak gaya diskursus
akademis modern, yang diteliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang
postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu
pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentative. Hal itu juga cenderung
lebih literal dari pada gaya akademis.
Akhirnya postmodern memfokuskan pada inti
masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka
pada bagian tepi (periphery).
Sumber buku:
George Ritzer, 2003. Teori Sosial Postmodern.
Halaman 18-20. Pencetak: Kreasi Wacana Yogyakarta.
Tags : Jurnal Sosiologi