Seberapa terpolarisasikan Indonesia?
Semakin banyak
analis yang melihat polarisasi sebagai faktor penting dalam proses kemunduran
demokrasi. Carothers dan O’donohue (2019:2), misalnya membandingkan berbagai
negara dari Amerika Latin, Asia, dan Eropa menemukan bahwa polarisasi merusak
demokrasi karena “secara rutin melemahknan penghormatan terhadap norma-norma
demokrasi, merusak proses dasar legislatif . . . memperburuk intoleransi dan diskriminasi,
mengurangi kepercayaan masyarakat, dan meningkatkan kekerasan di berbagai lapisan
masyarakat. Pembelahan partisan dan polarisasi semakin membuat aspek demokrasi
seperti perlindungan hak dan kebebasan semua orang menjadi ‘bergantung’ atau ‘bersyarat.’
Sumber foto: environics institute |
Fase baru
polarisasi politik di Indonesia pada tahun 2014. Dalam tiga kontestasi electoral
utama, pemilihan presiden 2014, pemilihan gubernur 2017 di Jakarta, dan
pemilihan presiden 2019. Pertarungan antara presiden Joko Widodo dan kemudian tokoh
oposisi, Prabowo Subianto.
Prabowo bersekut dengan partai-partai
Islam konservatif dan kelompok Islamis, untuk merepresentasikan kubu islam
politik. Sementara Jokowi dan koalisinya mewakili aliran pluralis.
Bagaimana kita tahu kapan pembelahan
politik yang normal telah berkembang menjadi sesuatu yang merusak? Kapan polarisasi
dapat mengancam institusi demokrasi suatu negara dan tatanan sosialnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini penulis menyampaikan:
- Dalam kasus polarisasi yang parah, politik digambarkan oleh para aktor politik dalam istilah “kita versus mereka”, dan masing-masing pihak membingkai pihak lain tidak hanya sebagai pesaing atau lawan dengan pandangannya dan tujuan yang berbeda, tetap sebagai liyan yang ‘tidak diakui’ dan merupakan suatu ancaman eksistensial (Somer dan McCoy, 2018).
- Kedua, di mana politik sangat terpolarisasi, kubu petanahan membingkai lawan politik sebagai ‘musuh negara’ dan dengan demikian menciptakan dalih untuk mengintimidasi dan menekan kekuatan oposisi (Somer dan McCoy, 2018; Svolik. 2019).
- Ketiga, munculnya tanda-tanda memburuknya polarisasi yang ‘afektif’ di mana antisipasi antara pendukung di tingkat masyarakat meningkat (McCoy dkk., 2018).
Pada akhirnya hasil merusak pun muncul:
pemerintah berhenti berfungsi, kekerasan antar kelompok meningkat, dan
demokrasi sudah mulai terkikis karena masing-masing pihak meninggalkan norma
dan isntitusi liberal demi menjinakkan dan mengalahkan musuh politik mereka
(Carothers dan O’Donohue, 2019; Svolik, 2019).
Polarisasi Indonesia memang belum mencapai
tingkat yang melumpuhkan seperti yang telah terjadi di beberapa negara seperti
Turki, Thailand, atau Amerika. Tetapi sangat penting bagi analisi untuk terus
memantau dan mengukur lintasan polarisasi sepanjang indikator yang diuraikan
dalam bab ini, karena polarisasi adalah sebuah proses bukan sebuah keadaan
statis, dan merupakan proses yang sudah memainkan peran signifikan di momen
kemunduran demokrasi Indonesia saat ini.
Sumber: Thomas Power dan Eve Warburton,
2020. Demokrasi di Indonesia dan Stagnasi ke Regresi? Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. Bagian 4.
Tags : Jurnal Sosiologi